Rabu, 24 Februari 2010

KEKERABATAN DAN PEMILU LEGISLATIF 2009
DI TINGKAT LOKAL
(Sebuah Penelitian Deskriptif eksploratif Tentang Ketokohan Bangsawan Muna Dalam Memenangkan Kursi Legislatif Di Kab Muna Sulawesi Tenggara)
BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG MASALAH
Pemilu adalah arena kompetisi untuk mengisi jabatan jabatan politik dipemerintahan yang didasarkan pada pemilihan formal dari warga Negara yang memiliki syarat. Peserta pemilu dapat berupa perseorangan dan partai politik tetapi yang paling utama adalah partai politik. Partai politik mengajukan kandidat dalam pemilu untuk kemudian dipilih oleh rakyat.
Pada zaman modern ini pemilu menempati posisi penting karena terkait dengan beberapa hal. Pertama, pemilu menjadi mekanisme terpenting bagi keberlangsungan demokrasi perwakilan. Pemilu adalah mekanisme tercanggih yang ditemukan agar rakyat tetap berkuasa atas dirinya. Perkembangan masyarakat yang pesat, jumlah yang banyak, persebaran meluas dan aktifitas yang dilakukukan semakin beragam menjadikan komplesitas persoalan yang diahadapi rakyat semakin variatif. Kondisi tersebut tidak memungkinkan rakyat untuk berkumpul dalam satu tempat dan mendiskusikan masalah yang mereka hadapi secara serius dan tuntas. Akhirnya muncul demokrasi perwakilan sebagai keniscayaan dengan pemilu sebagai mekanisme untuk memilih wakilnya.
Kedua, pemilu menjadi indikator Negara demokrasi. Bahkan tidak ada satu pun Negara yang mengklaim dirinya demokratis tampa melaksanakan pemilu sekalipun Negara itu pada hakekatnya adalah otoriter. Ketika perspektif Scumpetarian tentang demokrasi, yaitu demokrsi sebagai “metode politik” mendominasi teorisasi demokrasi maka pemilu menjadi elemen paling penting dari ukuran Negara demokrasi. Bahkan Prezeworski dan rekan rekannya mendefenisikan demokrasi sebagai sekeder rezim yang menyelenggrakan pemilihan- pemilihan umum untuk mengisi jabatan jabatan pemerintahan ( dengan ketentuan bahwa persaingan yang sebenarnya mensyaratkan adanya oposisi yang memiliki kesempatan memenagkan jabatan publik serta bahwa posisi kepala eksekutif dan kursi legislative diisi melalui pemilu (Larry Diamond, 2003:9-10). Ketiga pemilu penting dibicarakan juga terkait dengan implikasi implikasi yang luas dari pemilu. Dalam gelombang ketiga demokratisasi pemilu menjadi satu cara untuk memperlemah dan mengkhiri rezim-rezim otoriter( Samuel P H. Huntington,1997: 223 ).
Menyongsong pemilu 2009, DPR melakukan berubahan regulasi yang terkait dengan penyelenggara pemilu. Pemilu untuk memilih anggota DPR dan DPRD dilaksanakana dengan system proposional terbuka, dimana pemilih dapat langsung memilih nama Calon anggota DPR/ DPRD. Hal ini pemilih tidak lagi memilih kucing didalam karung. Beberapa persoalan yang muncul dalam system pemilu sebelumnya diantaranya berupa representasi wakil rakyat., proposionalitas nilai kursi, pembentukan kepartaian yang efektif dan sebagainya berusaha diatasi.
Terkait dengan masa depan politik Indonesia, pemilu 2009 telah banyak kalangan diyakini sebagai fase transisi elit politik lama ke elit politik baru. Dalam proses menuju pemilu 2009 terdapat dinamika politik yang perlu menjadi catatan. Dinamika itu terutama terkait dengan KPU dan partai politik.
Pertarungan politik tahun 2009 semakin dekat di depan mata. Aroma politik kekerabatan sangat kental dalam penyusunan daftar caleg. Beberapa partai politik, diantaranya; PDIP, PG, PAN, PBB, PPP, dan PBR untuk menyebut sebagian diantaranya tak juga bisa melepaskan diri dari aroma politik kekerabatan dalam penyusunan caleg. Keluarga pemimpin partai, dan ada kecenderungan akan mewarnai dalam bursa caleg Pemilu 2009. Kecenderungan nepotisme, tampaknya bukan masalah, dan dianggap bukan lagi masalah sosial untuk menempatkan orang-orang yang mempunyai hubungan kekeluargaan karena kedudukan mereka adalah warga negara yang memiliki hak.
Elit politik di setiap partai politik, tampaknya sedang menata dan menyusun langkah-langkah untuk membangun kokohnya dinasti politik keluarganya dalam kancah politik nasional. Keluarga Megawati Sukarnoputri mempersiapkan putrinya Puan Maharani, Agung Laksono mengajukan Dave Laksono dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, mengajukan Edi Baskoro.
(Ellyasa KH Darwis.2008:1 ). Elit-elit politik di masing-masing partai politik, sedang mempersiapkan orang-orang yang memiliki hubungan darah untuk dipromote menjadi menjadi elit politik mengikuti jejak dirinya. Kecenderungan seperti ini, politik yang berbasis pada kekekarabatan meski sejak jaman orde baru dikritik, akan tetapi tidak kunjung hilang juga. Sebaliknya, menjelang Pemilu 2009 tambah subur dan menguat di banyak partai.
Kecenderungan ini juga menunjukkan bahwa politik itu lebih merupakan warisan untuk mengukuhkan pengaruh dan trah dalam politik di partainya masing-masing dan secara umum dalam belantara politik nasional. Menjadi politisi, dengan demikian dipandang sebagai persoalan hubungan darah atau persoalan hubungan biologis. Jika demikian perkembangannya, maka partai politik hanyalah merupakan sebuah kendaraan elit partai untuk mempertahankan dinasti politik. Kekuasaan, pengaruh dan posisi politik dipertahankan dan dilanggengkan geneologi politik menjadi persoalan keluarga.
Menguat dan menonjolnya politik kekerabatan dalam penyusunan calon legislatif, menunjukkan bahwa meskipun partai politik tengah dirancang sebagai sistem politik yang modern, akan tetapi dalam struktur budaya yang berkembang di kalangan elit partai ternyata masih sangat tradisional.
Gencarnya sosialisasi partai politik peserta pemilu melalui simbol-simbol partai baik yang terpasang di wilayah publik maupun melalui spot iklan di media massa elektonik serta berbagai movement parpol dalam dinamika politik hari ini adalah sebuah fakta tak terbantahkan sebagai sinyal menuju pertarungan sesungguhnya di pemilihan umum tahun 2009. Parpol peserta pemilu tahun 2009 ditandai dengan mensosialisasikan para calon anggota legislatifnya kepada konstituen pemilih (rakyat) yang merupakan salah satu langkah strategis yang diharapkan mampu menarik simpati pemilih demi mendongkrak perolehan suara partai di pemilu nanti. Berbagai macam figur caleg pun kemudian bermunculan melalui parpol yang mengusungnya mulai dari wajah lama dan wajah baru, dari kalangan tua maupun muda serta dari berbagai macam tingkatan strata kehidupan sosial yang berbeda dengan harapan mampu memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan jumlah suara parpol bersangkutan.
Keberadaan para calon legislatif inilah yang nantinya akan diseleksi oleh rakyat (para pemilih), layak atau tidak layakkah para calon legislatif mewakili mereka di lembaga legislatif (DPR/DPRD). Oleh karena itu, demi untuk tetap menjaga eksistensi lembaga legislatif sebagai sebuah lembaga terhormat dan para anggota legislatif kembali menjadi pejuang dan penyambung lidah rakyat, maka dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari para pemilih (rakyat) untuk betul-betul mengenal dan memahami kualitas dan kapasitas figur caleg yang akan dipilihnya (karakter, kualitas keilmuan, tingkat intelegensia dan intelektualitas, serta moralitas calon legislatif bersangkutan). Sehingga figur yang terpilih nantinya adalah mereka yang memang pantas dan layak mewakili dan memperjuangkan kepentingan rakyat di lembaga legislatif.
Maka perlu terus diupayakan terwujudnya korelasi yang positif antara proses pemilu dan hasil pemilu dalam menciptakan tata pemerintahan yang baik. Pemilu 2009 diharapkan dapat menjadi tonggak pemantapan bagi konsolidasi demokrasi yang mampu mengantarkan terbentuknya koalisi parpol yang relatif solid, terpola dan permanen; menghasilkan anggota parlemen yang memiliki kriteria-kriteria memiliki integritas, kredibilitas, kapabilitas, akuntabilitas, visioner, dan lain-lain sebagainya.
Dalam konteks kontestasi politik di Sulawesi tenggara mampu mengambarkan berbagai macam keunikan. Bercermin pada hasil hasil pemilu pada masa lampau dan membandingkan dengan kondisi terkini, dapat di simpulkan Sulawesi termaksud wilayah dekat pada satu kekuatan politik, dalam hal ini golkar. Pada Pemilu 1971,Golkar hadir menjadi pemenang mutlak dengan meraih 93 persen suara. Kemudian, selama periode tahun 1971- 1992 ketika Provinsi Sulawesi Tenggara masih terbagi dalam empat kabupaten, yakni Kendari, Muna, Buton, dan Kolaka, suara untuk Golkar tak pernah kurang dari 90 persen. Bahkan, setelah Kabupaten Kendari memekarkan diri menjadi Kotamadya Kendari pada tahun 1997, dominasi Golkar tetap tidak terpatahkan. Golkar juga masih dominan dalam pemilu demokratis yang digelar pada tahun 1999. Bercermin pada apa yang terjadi di tahun 1955, disaat persaingan politik sedemikian kuat, tak dapat di sangkal jika corak keagamaan jauh lebih menonjol di wilayah ini. Sulawesi khususnya Sulawesi tenggara kala itu menjadi lahan subur perolehan suara bagi partai islam karena sebahagian besar penduduk beragama islam seperti Masyumi, NU dan PSII. Di samping penguasaan masyumi, munculnya calon perseorangan sangat diminati, terutama sosok berpengaruh di daerah setempat. Semua ini menunjukan betapa sinergisnya hubungan yang terjadi antara agama, adat setempat dan politik, yang mengingatkan kembali pola pola hubungan pada yang terbentuk pada masa lampau Muna saat agama memasuki wilayah wilayah penguasaan para raja- raja bangsawan Uniknya, ketika terjadi perubahan konstelasi politik nasional yang menempatkan kekuatan dominan orde baru bersama golkar, secepat itu pula terjadi perubahan penguasaan suara. Namun, saat perubahan politik kembali terjadi, tidak satupun kekuatan partai partai bercorak keislaman mampu mengulang kembali penguasaannya dimasa lampau. Sulawesi tenggara khusus muna tampak benar bahwa kekuatan partai politik dalam penguasaan suara tidak seluruhnya dibangun oleh kekuatan ideology ataupun pendekatan rasional, seperti program kerja yang ditawarkan. Tampak benar pilihan masyarakat masih ditentukan oleh kekuatan sosok yang menjadi referensi, baik sosial maupun ekonomi di kabupaten muna. Dalam hal ini, hubungan sosial patron dan klien yang lebih menonjol. ( Kompas 29/02/09 ).
Pengamat politik dari universitas Hasanudin, Kausar Bailusy dalam bahasannya mengenai peta politik Sulsel memaparkan secara jelas karakter politik masyarakat di wilayahnya yang masih kental dengan pola semacam ini, “ memilih bukan kesadaran sendiri, tetapi mengikuti pilihan tokohnya, ( Kompas 29/02/09 ). Hal ini sama halnya dengan peta politik daerah muna.
Kondisi yang demikian pula memberi jawaban terhadap pangkal penyebab kemengan Golkar tiga dasawarsa terakhir yang pada umumnya berhasil menempatkan tokoh tokoh masyarakat setempat, baik tokoh rujukan adat maupun agama, menjadikan bagian yang utuh dalam pengurusan partai di wilayahnya masing masing. Bahkan , di Sulawesi tenggara, tokoh rujukan dominan semenjak pemilu 1955 yang memang mengakomodasi calon perseorangan dalam kontestasi. Singkat kata sepanjang ikatan- ikatan ketokohan dan partai tetap erat, selama itulah penguasaan massa terjaga. Sebesar apapun perubahan politik di tingkat nasional yang terjadi atau sekuat apapun penetrasi partai partai politik melalui kekuatan ideology atau program yang di tawarkan, masing kurang mampu menggoyahkan tokoh panutan dalam penguasaan massa.
Penguatan terhadap peran aktor dalam kontestasi politik di Sulawesi khususnya Sulawesi tenggara semakin terkuak membaca hasil pilkada kurun 2005 hingga 2008. Tampak benar tingginya penerimaan masyarakat terhadap masing masing kandidat yang bertarung tidak selalu identik dengan partai yang mencalonkannya. Dalam konteks kekinian, menguatnya peran aktor berpotensi mengubah peta persaingan perebutan dukungan politik. Menurut Donal Rumakoy, Pengamat Politik Sulawesi Utara Mengatakan Partai partai lain dengan Figur yang tak asing di masyarakat akan mengganggu partai yang sudah mapan ( Kompas27/02/09 )
Kekuatan figur elit menjadi ciri dari politik Sulawesi Tenggara jika dibandingkan dengan daerah lain. Kekuatan figur politik telah mampu bersaing dengan sejumlah partai politik besar berskala nasional. Figur calon anggota legislatif menjadi penarik utama dalam perhelatan Pemilu 2009. Hal ini berlaku dalam pemilihan kepala daerah di Sulawesi Tenggara.. Kunci utama memenangkan pilihan rakyat dalam pilkada adalah faktor kedekatan sang tokoh kepada konstituen. Selain kedekatan atas dasar kesamaan suku, atau profesi, pendekatan secara personal seorang tokoh kepada masyarakat adalah faktor yang mampu mendorong masyarakat memberikan pilihannya.
Isyarat untuk lebih memerhatikan faktor figur dalam memenangkan hati masyarakat terungkap pada saat pemilihan gubernur dan wakil gubernur Sulawesi Tenggara beberapa waktu lalu. Saat itu Kabupaten Muna yang merupakan asal etnis Muna lebih memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Nur Alam-Saleh Lasata (etnis Tolaki dan Muna). Padahal, terdapat calon gubernur lainnya yang berasal dari etnis Muna, yaitu Mahmud Hamundu yang diusung oleh PPP dan PDI-P.. Kemenangan pasangan Nur Alam dengan Saleh Lasata yang diusung PAN dan PBR ini sekaligus menguburkan impian Golkar untuk menyandingkan ”jagoannya” dalam pemilihan gubernur, yakni pasangan Ali Mazi dan Abdul Samad. Ali Mazi, pejabat bertahan (incumbent) yang berasal dari etnis Buton, hanya mendapat dukungan kuat di wilayah Buton, Wakatobi, Kota Bau-Bau, dan Kota Kendari. Prinsip yang sama tentang ketokohan terjadi juga pada pilkada bupati dan wali kota. Pada pemilihan bupati di Kabupaten Muna, pasangan yang diusung secara tunggal oleh Partai Golkar mampu mengalahkan lawan-lawannya dengan perolehan suara 51 persen. Bupati terpilih saat itu, Ridwan Bae, adalah bupati Muna pada periode sebelumnya. Kemenangan Ridwan, selain didukung oleh faktor primordial karena ia berasal dari etnis Muna, juga didukung oleh ketokohan dan pendekatan yang dilakukannya, yang dianggap cukup mengena di hati masyarakat. (Palupi Panca Astuti,Kompas.com,2008 )
Hal yang sama juga terjadi pada pemilihan Legislatif pada tahun 2004, hasil pemilu tahun 2004 sebanyak 30 Orang yang lebih didoninasi oleh partai Golkar, yang terdiri dari Fraksi Golkar 14 Orang, Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 5 Orang dan farksi Reformasi merupakan gabungan dari partai persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa, PAN, PKS, PSI, dan PNBK. Kemenangan partai Golkar dalam memperebutkan Kursi leislatif dikarenakan calon legislative menjadi panutan/tokoh dimasyarakat, ,adanya persamaan suku,kekerabatan dan lain sebagainya
Seiring dengan semakin tingginya kesadaran rakyat dalam membangun kekuatan posisinya (bargaining) menjelang pemilu 2009, terbangun pula sebuah diskursus progresif yang mengarah pada penentuan pilihan caleg didasarkan pada kualitas individu caleg baik yang berhubungan dengan kondisi fisik / jasmani bersangkutan ( usia muda / tua, memberikan bukti nyata / tidak) maupun yang berhubungan dengan tingkat kecerdasan figur ( intelektualitas, program nyata yang diusungnya, kemampuan berdebat / bertukar pikiran secara ilmiah ) serta yang tak kalah pentingnya adalah tingkat moralitas yang di miliki ( keberpihakan pada nilai kebenaran dan kejujuran).
Terlepas dari mainstream seperti yang tersebut diatas, diharapkan pilihan rakyat nantinya betul-betul mengarah pada individu-individu qualified yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas yang layak untuk menjadi wakil rakyat di lembaga legislatif. Dengan kata lain, bahwa pilihan tidak hanya didasarkan karena adanya ikatan emosional atau kekerabatan semata dengan caleg bersangkutan tapi juga dilandasi oleh kekuatan rasional (akal sehat) dan kecerdasan berpikir para pemilih demi untuk menjalani kehidupan bersama yang lebih konstruktif.
Oleh karena itu, sudah saatnyalah rakyat hari ini untuk bersama-sama membangun bargaining position yang kuat dalam menghadapi pemilihan umum tahun 2009 sehingga rakyat tidak lagi terjebak dan menjebak diri untuk menjadi korban pesta demokrasi lima tahunan.
Tetapi pada kenyataanya politik kekerabatan masih kental dalam kontestasi politik dikabupaten Muna, yang melahirkan kontrak politik yang tidak rasional yang mengakibatkan pemilih berpikir tidak menggunakan pertimbangan rasional dalam pemilih calon legilatif yang akan duduk di lembaga legislatif. Maka dalam kesempatan kali ini peneliti akan melakukan penelitian berkaitan kekerabatan tentang bagaimana peranan Bangsawan Muna Dalam memenangkan pemilu legislatif 2009.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka yang menjadi pertanyaan sebagai titik pijak. “Bagaimana Peranan Bangsawan Muna Dalam Memenangkan Pemilu Legislatif 2009 di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara” ?
C. TUJUAN DAN MAMFAAT PENELITIAN
1. Tujuan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekerabatan tentang ketokohan bangsawan Muna dalam memenangkan pemilu legislative 2009 ditingkat lokal.

2. Mamfaat
a. Secara praktis memberikan masukan kepada masyarakat Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara berkaitan dengan Kekerabatan tentang pengaruh ketokohan bangsawan Muna dalam memenangkan Pemilu legislatif.
b. Secara akademis mengembangkan konsep berkaitan dengan kekerabatan dalam pemilu di legislatif di tingkat lokal, tentang bagaimana pengaruh ketokohan bangsawan Muna.



C. KERANGKA TEORI
1. Kekerabatan
Menurut Roger M. Keesing ( 1992: 213) Kekerabatan secara instuisi meunjuk pada “ Hubungan darah”. Yang dimaksud dengan kerabat adalah mereka yang pertalian berdasarkan ikatan “darah “ dengan kita. Kerabat perkawinan , untuk jelasnya menjadi kerabat karena perkawinan dan bukan hubungan darah dan begitu juga dengan beberapa paman dan bibi kita. Tetapi hhubungan keturunan antara orang tua dan anaklah yang merupakan ikatan pokok kekerabatan.
Sedangkan menurut M. Yahya Mansur ( 1982:13 ) mengutib dari Fred Eggan Kekerabatan adalah lembaga yang bersifat umum dalam masyarakat dan memainkan peranan penting pada aturan tingkah laku dan susunan kelompok. Ia adalah bentuk dan alat hubungan social. Unsur-unsurnya adalah keturunan, perkawinan, hak dan kewajiban serta istilah istilah kekerabatan. Secara keseluruhan unsur-unsur ini merupakan satu system dan dapat dilihat sebagai pola tingkah laku dan sikap para anggota masyarakat. Setiap masyarakat mengenal hubungan social, baik karena keturunan darah, akibat perkawinan, maupun karena wasiat. Jaringan- jaringan hubungan social ini merupakan sebahagian dari struktur social masyarakat baik sederhana maupun kompleks
System kekerabatan dan perkawinan memainkan peranan penting dalam memelihara ikatan kelompok dan solidaritas. Sebagai suatu system, kekerabatan mempunyai kategori- kategori social yang berkaitan dengan hak dan kewajiban para anggotanya.( Fred Eggan,1972 Hal 1972 ).
Menurut Lowie ( 1961:80 ) kekerabatan adalah hubungan hubungan social yang terjadi antara seseorang dengan saudara-saudaranya atau keluarganya, baik dari jalur ayahnya maupun ibunya.
Dengan demikian, system kekerabatan adalah sebauh kerangka interaksi antara mereka yang merasa mempunyai hubungan kekerabatan. Pusat system kekerabatan adalah kelurga, baik kelurga inti ( Nuclear Family ) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak anak mereka, maupun keluarga luas ( extended family ) yang terdiri dari kelurga inti di tambah kakek nenek, paman-bibi, para sepupu kemenakan dan lain lain. Dalam kelurga itu terjadi interaksi peran –peran antara para anggotanya dengan status yang berbeda.
Dari beberapa pengertian tentang kekerabatan penulis menyimpulakan bahwa kekerabatan tidak hanya antara hubungan darah ( keturunan ) tetapi juga karena adanya persamaan suku, agama, ras dan lain sebagainya.
Selain itu juga hubungan kekerabatan terjadi Karena adanya hubungan patron klien. Scott ( 1992 ) mengatakan bahwa hubungan patron klien adalah
“….a special case of dyadic ( two person ) ties, involving a largely instrumental friendship in wich an individual of higher socio-ekonomic satus ( patron ) uses his own influence and recources to provide protection or benefits or both, for a person of a lower status ( client ) who for his part reciprocates by offering general support and assistance, including personal services, to the patron” ( 1992: 92 )
(….suatu kasus hubungan antara dua orang yang sebahagian besar melibatkan persahabatan instrumental, dimana seseorang yang lebih tinggi kedudkan social ekonominya ( patron ) menggunakan pengaruh dan sumber daya yang di milikinya untuk memberikan perlindungan atau keuntungan atau keduanya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya ( klien ) yang pada gilirannya membalas pemberian tersebut dengan memberikan dukungan yang umum dan bantuan, termaksud jasa pribadi, kepada patron )
Agar hubungan ini dapat berjalan dengan mulus, di perlukan dengan adanya unsur-unsur tertentu di dalamnya. Unsur pertama adalah bahwa apa yang di berikan oleh satu pihak adalah suatu yang berharga di mata pihak yang lain., entah pemberian itu berupa barang ataupun jasa dan bisa berbagai ragam bentuknya. Dengan pemberian ini pihak penerima merasa mempunyai kewajiban untuk membalasnya sehingga terjadi hubungan timbale balik, yang merupakan unsur kedua dalam relasi patron-klien. Adanya unsur timbal balik inilah, kata Scott, yang membedakan dengan hubungan yang bersifat pemaksaan atau hubungan karena adanya wewenang formal ( formal authority). Selain itu hubungan patronase ini juga perlu di dukung oleh norma-norma dalam masyarakat yang memugkinkan pihak yang lebih rendah kedudukannya ( klien ) melakukan penawaran, artinya bila mana salah satu pihak merasa bahwa pihak lain tidak member seperti yang di harapkan, dia dapat menarik diri dari hubungan tersebut tampa terkena sanksi sama sekali.


2. Bangsawan Muna Dalam struktur Sosial Muna.
Penduduk muna hampir sama dengan penghuni Pulau Buton dan pulau –pulau sekitarnya. Menurut asal usulnya penghuni muna berasal dari suku TokEya yang menjadi penghuni daratan Sulawesi tenggara. Hal ini bersumber dari kenyataan bahwa diantara suku-suku tersebut lebih banyak menunnjukan kememiripan dari pada dengan mereka yang tinggal di Buton. Beberapa kesamaan dari bahasa dan kata kata yang digunakan juga menjadi bukti dalam hal ini ( A ligtvoet,1878:13-14 ).
Dari sisi legenda orang-orang Muna ini tinggal sebagai keturunan dari pendatang luwu. Pada masa itu mereka merantau dan menetap dimuna dengan membentuk suatu komunitas. Mereka lalu mengangkat seorang pemimpinnya yang bergelar Mino artinya sebagai pemimpin yang dipatuhi. Pada masa kehidupan mereka, terdapat seorang pemuda yang muncul dari bambu bernama Betenonetombula. Bersama dengan kemunculannya dari laut muncul seorang wanita bernama sangka palangga. Keduanya bertemu dan saling menikah. Karena asal usulnya yang gaib keduanya dianggab sakti oleh penduduk setempat. Mereka kemudian saling bersepakat untuk mengangkat betenonetombula menjadi penguasa mereka sementara, mino menyatakan tunduk kepada perintahnya. Sejak itu keturunan dari perkawinan Betenonetonbula dan sangke palangga menjadi penguasa disana ( H.W Vonk:1937:23 )
Salah satu keturunan dari perkawinan itu adalah lambana yang memerintah muna dengan gelar Sugi atau sang Pemimpin. Dia menurunkan tiga orang putra yaitu lakilaponto, lapusasa dan pimpinomba, pada masa pemerintahannya terjadi interaksi antara Muna dan Buton yang saat itu disebut dengan kerajaan walio dengan gelar Omputo dan setelah masuk islam di sebut sultan Muhrum ( leiden:1994 :14 )
Keturunan dari generasi berikutnya sebagi omputo muna adalah Latikano. Pada massa pemerintahannya, perkembangan masyarakat muna menjadi semakin banyak dan semakin kompleks. Oleh karena itu dia memutuskan untuk membuat stratifikasi social. Dari keputusannya sejak itu masyarakat tradisional muna terdiri atas kelompok bangsawan dan kawula biasa. Pembagian ini di tentukan berdasarkan pada ikatan dan hubungan darah yang di miliki setiap orang dengan penguasa dan leluhurnya khususnya yang berasal dari Betenonetobula. Latikano, Raja Muna X (1600-1625) tercatat dalam sejarah Muna sebagai pemrakarsa penetapan golongan dalam masyarakat Muna. Ia menetapkan penggolongan itu bersama sepupunya bernama La Marati. Yang terakhir ini adalah anak Wa Ode Pogo, saudara perempuan Lakilaponto. Titakono sendiri adalah putra Rampei Somba, saudara Lakilaponto. Sebagai raja, Latikano mengangkat sepupunya itu menjadi pembantu utamanya dalam pemerintahan dengan jabatan yang disebut bhonto bhalano (semacam perdana menteri). Setelah itu keduanya bersepakat menetapkan strata sosial masyarakat. Berdasarkan kesepakatan itu, golongan masyarakat dari garis keturunan sugi sampai kepada Latikano harus diakui sebagai golongan tertinggi yang disebut Kaomu dengan gelar la ode. Lalu kelompok masyarakat keturunan mulai dari La Marati ditetapkan sebagai golongan setingkat lebih rendah dari Kaomu yang disebut Walaka. Golongan Walaka tidak memakai gelar la ode.
Kelompok bangsawan di bagi menjadi dua yaitu :
3. Kaum atau bangsawan tinggi sebagai keturunan penguasa lama dari garis pria. Para anggota kelompok ini di percaya merupakan keturunan langsung Betenonetobula.
4. walaka atau bangsawan rendah, keturunan dari lamarasi. Lamarasi adalah seorang keturunan dari Ibu kaum sementara, ayahnya bukan dari kaum.
Kedua kelompok ini menduduki posisi yang stategis dalam startifikasi social masyarakat Muna, Karena para pejabat politik yang memegang kekuasan semua berasal dari kelompok tersebut.
Karena hubungan darah menjadi fondasi utama dalam menentukan status mereka, perkawinan diantara anggota yang tidak berstatus sama menjadi larangan. Dikalangan masyarakat biasa pembagian kelas dalam stratifiksi social juga berlaku, mereka terdiri ata warga bebas yang sering di sebut maradika.
Dalam pelapisan sosial, penduduk Muna di bagi dalam empat golongan: golongan pertama di sebut kaomu yang merupakan kelompok bangsawan dan masih memiliki hubungan kekerabatan dengan raja atau keturunan raja. Golongan kedua adalah walaka, kelompok ini adalah penduduk asli yang membuka lahan di palau tersebut. Golongan ketiga disebut papara. Kelompok papara sebahagian besar terdiri atas orang-orang pendatang yang tinggal di palau muna atau bekas budak yang telah dibebaskan dan menetap disana dengan pekerjaan berladang. Golongan keempat adalah batua atau budak. Kelompok ini masih dibagi dalam beberapa golongan sesuai dengan asal usulnya.
Golongan kaomu dan walaka merupakan kelompok social yang memiliki hak istimewa. Karena dari golongan atas mereka biasanya mengajukan anggotanya untuk di calonkan menjadi penguasa di muna
Komunitas masyarakat Muna hidup berdampingan dan menciptakan suatu interaksi social. Mereka terjalin dalam suatu system pergaulan social dan kepercayaan yang mempunyai aturan-aturan sendiri. Ketika diantara mereka yang tinggal memiliki kelompok status yang sama dengan Maradika, setiap warga mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Situasinya akan berbeda ketika kaum atau walaka tinggal diantara mereka, yang biasanya memperoleh perlakuan dan penghormatan khusus dari warga sekitar.
Bangsawan Muna dalam struktur masyarakat Muna mempunyai garis keturunan yang cukup besar dalam masyarakat
3. Sumber kekuasaan Bangsawan Muna dan implikasi Bagi pemilu legislative 2009 di Muna.
Bangsawan Muna awalnya memiliki banyak tanah, tetapi karena berkembangan zaman dan adanya kebijakan lendrefoom, tanah-tanah tersebut akhirnya di miliki oleh Negara, dan menjadi hak warga masyarakat sekitar untuk dimiliki oleh rakyat.
Secara garis besar muna menjalankan pola pemerintahan semi demokrasi lebih kepada system otokrasi, dimana system pemerintahan yang di jalankan oleh sekelompok orang-orang tertentu. Kaum bangsawan dipilih oleh dewan rakyat yang di sebut SARA. Dimana mereka menjalankan system kebijakan-kebijakan adat, budaya dan lain sebagainya. Bangsawan mempunyai pengaruh terhadap kebijakan-kebijakan adat dan yang mampu menjalanakan dan mengatur kebijakan adat adalah hanya kaum bangsawan Muna
Kaum bangsawan ini biasanya memiliki hak istimewa dalam masyarakat lebih dihargai dan pendapatkan penghormatan khusus di masyarakat. Biasanya bangsawan ini sikap/ perbuatannya selalu di perhatikan oleh masyarakat, karena menjadi panutan oleh masyarakat.
Dengan adanya pemilu legislatif, maka setiap warga Negara memiliki hak yang sama untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan Umum.begitu juga dengan bangsawan muna yang memiliki peluang yang cukup besar untuk menjadi calon legislatif yang dapat mewakili warga masyarakat.
Kaum bangsawan ini dalam mempengaruhi suara dalam pemilu legislatif tetapi sangat relatiif sekali, artinya ketika kaum bangsawan memberikan arahan untuk memilih ini tergantung juga pada bagaimana hubungannnya dimasyarakat,bagaimana seorang bangsawan menjadi suri tauladan dimasyarakat dan apakah bangsawan muna memiliki sumber ekonomi yang cukup untuk menopang statusnya dimasyarakat .karena ada juga seorang bangsawan tidak memiliki pengaruh dimasyarakat karena sikap/ perilakunya dimasyarakat dan tidak memiliki sumber ekonomi yang cukup, serta banyak bangsawan yang tidak memiliki sumber pendidikan yang cukup.
Tetapi sebahagian besar masyarakat Muna dalam memilih bangsawan Muna untuk menjadi calon legislatif karena adanya euphoria masa lalu. Dimana kejayaan masyarakat muna pada masa lalu yang dipimpin oleh seorang raja. Bangsawan tersebut memiliki hubungan darah dan keluarga dekat dengan raja-raja muna terdahulu.
Disamping itu juga Bangasawan Muna mampu mempengaruhi suara pemilu legislatif karena memiliki kepercayaan dalam masyarakat serta adanya adanya pertimbangan moril, bahwa pemilih melihat seorang bangsawan dari asal usul keluarga, darah,dan karena bangsawan tersebut merupakan kelurga besar dan memiliki hubungan darah serta hubungan yang sudah mendarah daging dengan masyarakat
Yang terpenting disini adalah Bangsawan merupakan harapan masyarakat untuk melanjutkan pemerintahan raja raja terdahulu. Perlu diketahu bahwa bangsawan muna memiliki massa yang cukup besar dalam masyarakat terutama di daerah yang masih kental dengan adat-istiadat misalnya daerah lawa, tikep dan beberapa daerah yang masih terpencil dipulau muna. Disamping itu juga perilaku masyarakat yang masih sangat tradisional dan patrimonial terhadap figur yang dipilih
4. Pemilihan Umum
Pada hakekatnya menurut Ali Murtopo ( 1981: 179-190 ) pemilihan umum adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjalankan kedaulatannya dan merupakan lembaga demokrasi.
Pemilihan Umum menurut Manuel Kaisiepo ( 1981: 2 ) memang telah menjadi tradisi penting hampir- hampir di sakralkan dalam berbagai system politik di dunia. Lebih lanjut dikatakannya pemilihan umum penting karena berfungsi member legitimasi atas kekuasaan yang ada dan bagi rezim baru, dukungan dan legitimasi inilah yang cari. Pemilihan Umum berfungsi mempertahankan status quo bagi rezim untuk terus bercokol dan bila pemilihan umum di laksanakan dalam konteks ini maka legitimasi dan status qu inilah yang dipertaruhkan, bukan soal demokrasi yang abtrak dan kabur ukuran ukurannya itu. Dan pemilihan ini selalu menjadi tawaran pertama dari rezim-rezim meliter yang baru memegang kekuasaan melalui kudeta untuk mempepulerkan rezimnya pada rakyat di samping sudah bias menyebutkan bahwa rezim lama yang di gulingkan itu dan korup dan menindas rakyat.
Dalam ilmu politik, Menurut Afan Gafar yang mengutib pendapat liphart( 1955 ) pemilihan umum diartikan sebagai kumpulan metode atau cara warga masyarakat memilih para wakil mereka.
Sigit Putranto ( 1981 : 3 ) menyebutkan bahwa sekarang tidak menemukan pilihan yang lebih demokratis selain pemilihan umum walaupun ia berpendapat bahwa pemilihan umum itu belum jaminan demokratis itu sendiri.. ia juga mengatakan bahwa pemilihan umum tidak menjamin bahwa facisme tak dapat merebut kekuasaan melaluie penguasaan mayoritas dan pemilihan. Tirani mayoritas dan tirani minoritas dapat muncul melalui pemilihan umum yang setelah menang meniadakan prinsip-prinsip demokrasi. Pemilihan umum belum merupakan ukuran bahwa kedaulatan dan kehendak rakyat sudah dipenuhi. Tetapi bagaimana pun kita harus yakin bahwa pemilihan umum adalah bentuk partisipasi politik rakyat warga Negara yang paling mendasar untuk menentukan pemerintahan dan program yang sesuai dengan keinginannya, paling tidak pemerintah atau program yang dapat di terima. Malah sering kadar demokrasi yang dianut oleh suatu Negara di ukur dengan pemilihan umum yang di selenggarakan oleh Negara tersebut.
Menurut Mac Iver dengan pemilihan umum saja rakyat sudah dibatasi dalam pilihannya.. umumnya mereka memilih antara calon-calon yang tidak diajukan merekasendiri. Organisasi partai menguasai bagaian yang terbesar daripada seleksinya. Partai hanya memberikan kepada rakyat pemutusan antara calon calonnya dan calon calon partai lain. Kandidat yang “merdeka” sangat di persukar dan sekurang- kurangnya ia membaurkan persoalan. Seleksi oleh partai adalah jauh dari pada suatu proses yang demokratis. Ia di pengaruhi oleh pertimbangan pertimbangan jasa yang telah diberikan dalam hal keuangan atau dengan cara lain kepada organisasi, tentang gengsi yang melekat pada golongan-golongan keluarga yang terkenal, tentang kesediaan calon untuk mentaati perintah-perintah partai dan tentang keinginan-keinginan dari pada pemimipin-pemimpin pusat partai yang mengendalikan partai.
Pemilihan umum biasanya bertujuan memilih wakil wakil rakyat di Parlemen ( DPR/DPRD ). Pemelihan umum pertanda dari kehendak rakyat dalam suatu demokrasi, tampa ada pemilihan umum suatu Negara yang menyebutkan negaranya demokrasi pastilah bukan Negara demokrasi dalam arti yang sebenarnya.
Hasil pemilu mencerminkan fungsi yang dikehendaki. Aurel Croissant ( 2002 mengemukakan tiga fungsi pokok pemilu. Pertama, fungsi keterwakilan ( representativeness ), dalam arti kelompok- kelompok masyarakat memiliki perwakilan di tinjau dari aspek geografis, fungsional dan deskriptif. Kedua, fungsi integrasi, dalam arti terciptanya penerimaan partai terhadap partai lain dan masyarakat terhadap partai. Ketiga, fungsi mayoritas yang cukup besar untuk menjamin stabilitas pemerintah dan kemampuannya untuk pemerintah ( governability )
Menurut Dadang juliantara ( 2003 : 59 ) setiap pemilu pada dasarnya adalah proses untuk membentuk suatu pemerintahan baru. Perubahan pemerintahan baru pada dasarnya adalah : (1) terjadnya suatu rekonfigurasi kekuatan kekuatan politik, sejenis proses penataan ulang kekuatan politik yang ada. Dalam system demokrasi, pemilu akan membuka peluang bagi kekuatan politik yang kecil untuk menjadi besar, dan demikian sebaliknya. Dengan proses yang demikian, maka peluang bagi “ perubahan konfigurasi kekuatan- kekuatan “ politik menjadi terbuka lebar; dan (2) perubahan konfigurasi kekuatan politik sendiri pada dasarnya adalah hasil dari pembentukan kelompok kelompok baru di kalangan masyarakat. Pemilu dalam hal ini bias menjadi instrument untuk mempercepat proses perubahan tersebut, dan dapat pula sebagai muara dari proses pengelompokan yang ada.
Bagi gerakan pembaruan, proses pemilu selalu merupakan momentum strategis, terutama oleh adanya kebutuhan untuk mendorong secara bertahap perubahan kebijakan. Apa yang sebut sebagai perubahan kebijakan ( policy reform ), pada hakekatnya adalah proses peninjauan kembali berbagai kebijakan yang lama, yang di pandang tidak sejalan dengan kebutuhan atau tantangan yang ada.
Demokrasi mempercayai bahwa pemilu memainkan peranan amat vital untuk menentukan masa depan bangsa. Sebagaimana transisi demokrasi, pemilu dalam proses konsilidasi demokrasi membutuhkan prakondisi yang spesifik. Kelembagaan pemilu yang ideal untuk konsilidasi demokrasi karena kebutuhannya berbeda beda, yang mempertimbangkan berbagai aspek dan fungsi.
Dalam pandangan Axel Hadenius (1992 ), suatu pemilu dapat sungguh-sungguh dikatakan demokratis apabila memenuhi tiga criteria,yakni (1) keterbukaan; (2) ketepatan; dan (3) efektifitas. Terbuka berarti pemilu harus harus bersifat terbuka bagi setiap warga Negara. Prinsip itu di kenal dengan hak memilih universal ( universal Suffrage ). Ketepatan mengandung arti bahwa segala proses yang berkaitan dengan pemilu, mulai dengan pendaftaran partai peserta pemilu, verifikasi partai politik, kampaye, pelaksanaan pemungutan suara, sampai perhitungan suara, harus dilakukan secara tepat dan proposional semua yang terlibat dalam pemilu harus mendapatkan perlakuan hokum yang sama. Efektifitas berarti jabatan politik harus di isi semata-mata melalui pemilu, tidak dengan cara –cara lain, seperti pengangkatan dan penunjukan.
Pada dasarnya ada tiga tujuan dalam pemilihan umum ( Ramlan surbakti,1992 : 181-182),pertama, sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan artenatif kebijakan umum ( Public policy ). Dalam demokrasi, kedaulatan rakyat sangat di junjung tinggi sehingga dikenal spirit dari, oleh dan rakyat. Dalam system demokrasi perwakilan ( representation democration system ),rakyat memiliki kedaulatan penuh akan tetapi pelaksanaan di lakukakan oleh wakil wakilnya melalui lembaga legislative atau parlemen. Wakil rakyat tidak bias sembarangan orang, seperti yang terlihat dalam pemilu 1999. Seseorang yang memiliki otoritas ekonomi atau otoritas cultural pun tidak layak menjadi wakil rakyat tampa moralitas, integritas dan akuntabilitas yang memadai. Karena itu diselenggarakan pemilihan umum sebagai mekanisme penyeleksi dan pendelegasian kedaulatan kepada orang atau partai.
Kedua, pemilihan umum juga merupakan mekanisme memindahkan konflik kepentingan ( conflict of interests ) dari masyarakat kepada badan- badan perwakilan rakyat melalui wakil- wakil yang terpilih atau partai yang memenangkan kursi sehingga integrasi atau kesatuan masyarakat tetap terjamin. Mamfaat pemilihan umum ini terkait dengan asumsi bahwa masyarakat memiliki kepentingan yang berbeda-beda dan bahkan saling bertentangan, dan pertentangan itu mestinya diselesaikan melalui proses musyawarah. Dalam kenyataannya seringkali elite dan partai justru mendorong terjadi konglik, seperti saat Presiden Abdul Rahman Wahid berseteru dengan DPR berkaitan dengan Bulogate I, yang membawa-bawa rakyat ke pusat kekuasaan. Kongflik itu disebabkan oleh lemahnya pelembagaan politik di tingkat elite, yang mencerminkan kegagalan mereka sebagai wakil rakyat.
Ketiga, pemilihan umum merupakan sarana memobilisasi, menggerakkan atau menggalang dukungan rakyat terhadap Negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik. Hal yang terakhir ini semakin urgen karena belakangan masyarakat semacam alienasi dari proses pengambilan kebijakan ( decision making ). Atau, ada jarak yang lebar antara proses pengambilan kebijakan dan kepentingan elite dengan aspirasi di tingkat akar rumput yang setiap saat bias mendorong ketidak percayaan ( distrust) terhadap partai dan pemerintahan.
5. Asas Pemilihan Umum
Menurut undang-undang Nomor 10 tahun 2008 asas pemilu yaitu langsung,umum, bebas, rahasia jujur, dan adil. Pemilu yang LUBER dan Jurdil mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus diselenggarakan secara demokratis dan transparan, berdasarkan pada asaas-asas pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil:
1. Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
2. Umum berarti pada dasarnya semua warganegara yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia , yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau telah/pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum. Warganegara yang sudah berumu 21 (dua puluh satu) tahun berhak di-pilih. Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status sosial;
3. Bebas berarti setiap warganegara yang berhak memilih bebas menentukan pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan haknya, setiap warganegara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya;
4. Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan papun. Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain kepada suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara sukarela bersedia mengungkapkan pilihannya kepada pihak manapun;
5.Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum; penyelenggaraan/ pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta Pemilu, pengawas dan pemantau Pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku;
6. Adil berarti dalam menyelenggarakan pem,ilu, setiap pemilih dan partai politik peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
6. Sistem Pemilihan Umum
System pemilu adalah seperangkat metode atau aturan untuk menstrasfer suara pemilih kedalam suatu lembaga perwakilan. Dalam demokrasi perwakilan , system pemilu menjadi elemen penting yang turut mengkonstruksi struktur system politik. Perubahan sebuah system pemilu kepada system pemilu yang lain akan berpengaruh pula pada struktur system politik yang ada seperti dalam system kepartaian dan spectrum representasi.
Menurut Ben Reailly ( 1999:19 ), system pemilihan dirancang untuk memenuhi tiga hal. Pertama, menerjemahkan jumlah suara yang diperoleh dalam pemilihan umum menjadi kursi di badan-badan legislativ. System tersebut mungkin biasa memberikan bobot lebih pada proposionalitas jumlah suara yang diraih dengan kursi yang di menangkan, atau mungkin pula bisa menyalurkan suara ( betapun terpecahnya keadaan partai ) keparlemen yang sudut pandang berbeda. Kedua, system pemilihan bertindak sebagai wahana penghubung yang memungkinkan rakyat dapat menagih tanggung jawab atau janji wakil-wakil yang telah mereka pilih. Ketiga, system pemilu memberikan dorongan terhadap pihak pihak yang saling bersaing pengaruh supaya melakukannya dengan cara yang tidak sama.
Sartori mengatakan system pemilu sebagai “sebuah bagian yang paling esensial dari kerja system politik. System pemilu bukan hanya instrument politik yang paling mudah dimanipulasi, ia juga membentuk system kepartaian dan mempengharuhi spectrum representasi.
Selain itu, menurut Sigit Pamungkas sebagaimana mengutip pendapat Reynold( 2001 :102 ). Menurut Reynold system pemilu dimaksudkan untuk 3 (tiga) hal . pertama, ia adalah institusi yang di gunakan untuk menyeleksi para pengambil keputusan ketika masyarakat telah menjadi terlalu besar bagi setiap warga Negara untuk ikut terlibat dalam setiap pengambil keputusan yang mempengaruhi komunitas. System pemilu adalah metode yang di dalamnya suara suara yang di peroleh dalam pemilihan diterjemahkan menjadi kursi-kursi yang dimenangkan dalam parlemen oleh partai partai dan para kandidat. Kedua, system pemilu juga bertindak sebagai saluran yang melaluinya seluruh warga Negara dapat menuntut pertanggung jawabana dari para wakil terpilih mereka.. terakhir system pemilu membantu menetapkan batasan wacana politik yang dapat diterima dengan memberikan dorongan kepada para pemimpin partai untuk menuliskan himbauan mereka kepada para pemilih dengan cara-cara yang berbeda.
Melalui pemilu ada dua arus utama tentang makna representasi yang harus di konversi dai masyarakat kedalam lembaga legislative ( David M Ferrel,1997:6 ). Pertama, konsep mikrokosmos yang mengandaikan legislative adalah sample dari populasi yang bernama masyarakat. Dengan kata lain, legislatif adalahgambar yang ada dalam cermin dari sebuah benda yang ada di depannya, ia miniatur dari masyarakat. Sebagai gambar maka legislative kekedar pantulan dari kenyataan yang ada di dalam masyarakat tampa ada penambahan ataupun pengurangan sedikitpun. Legislatif harus merefleksikan besaran masyarakat, bagaimana mereka berpikir, merasa dan bertindak. Kedua konsep “ principal agen. Konsep ini menyatakan bahwa yang penitng dari legislative adalah bagaimana ia bertindak mewakili para pihak yang memilihnya. Asalkan legislative dapat bertindak mewakili kepentingan para pihak yang memilihnya maka ia sudah dapat dikatakan representative.
System pemilu memiliki dimensi kompleks yang sederhana seperti yang di bayangkan. Beberapa dimensi penting adalah penyuaraan ( balloting ), besaran distrik ( distrik magnitude ), pembuatan batas batas representasi, formula pemilihan ( electoral formula ) dan ambang batas ( threshold ) serta jumlah kursi parlemen.
1. Penyuaran ( Baloting )
Penyuaran adalah tata cara yang harus di ikuti pemilih yang berhak menentukan suara. Jenis penyuaran di bedakan menjadi 2 (dua ) tipe. Pertama kategorikal, yaitu pemilih hanya memilih satu partai atau calon. Kedua. Ordinal, yaitu pemilih memiliki kebebasan lebih dan dapat menetukan preferensi atau urutan dari partai atau calon yang di inginkannya. Kemungkinan lain adalah gabungan dari keduanya..
Teknis penyuaraan dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan menuliskan nama partai atau calon yang dipilih dalam kertas suara. Dengan cara ini format kertas suara lebih sederhana karena partai atau nama-nama calon tidak perlu di cantumkan kedalam kertas suara tetapi cukup dipasang ditempat pemumutan suara. Kedua dengan mencoblos/ melubangi / melingkari dan sejenisnya tanda gambar atau nama calon yang di pilih. Konsekwensi dari cara kedua ini adalah format kertas suara menjadi sangat kompeks karena harus memuat gambar partai dan nama calon.
2. Besaran Distrik ( district Magnitude )
Yang di maksud dengan besaran distrik ( district magnitude ) adalah berapa banyak anggota lembaga perwakilan yang akan dipih dari satu distrik pemilihan. Besar distrik dapat di bedakan menjadi dua, yaitu distrik beranggota tunggal dan distrik beranggota jamak. Berdasarkan jumlah kursi yang di perebutkan distrik beranggota jamak di kelompokan menjadi kategori distrik kecil ( 2-5 ), distrik sedang ( 6-10 ) dan distrik besar ( > 10 )
3. Pembuatan batas- batas Representasi/ pendistrikan
Yang juga penting untuk diketahui berkaiatan dengan besaran distrik adalah cara yang menentukan batas-batas distrik. Ada dua hal yang perlu dipertimgbangkan dalam dalam menentukan batas batas pendistrikan yaitu masalah keterwakilan dan kesetaraan kekuatan suara. Keterwakilan menyangkut bagaimana suatu komunitas kepentingan dapat diwakili kehadiran dan kepentingannya. Komunitas kepentingan dapat berupa pembagian administratif, lingkungan etnis atau ras, atau masyarakat alami seperti pulau-palau yang dikelilingi batas batas fisik. Sementara itu kesetaraan kekuatan suara berkaiatan dengan usaha agar nialai suara dari seseorang pemilih di sebuah daerah pemilihan sama dengan nilai suara dari seseorang pemilih di daerah pemilihan lainnya ketika suara itu dikonversi menjadi nilai kursi diparlemen.
4. Formula pemilihan ( electoral formula )
Formula pemilihan adalah membicarakan penerjemahan suara menjadi kursi. Secara umum formula pemilihan dibedakan menjadi 3 ( tiga ) yaitu formula pluralitas, formula mayoritas, dan formula perwakilan berimbang ( ramlan Surbakti ( 1992 :178 )
Formula pemilihan tersebut akan menentukan alokasi kursi yang akan diberikan kepada masing-masing partai yang bersaing (Afan Gafar, 1999 : 256 ). Pada formula pluralitas, calon yang mendapatkan kursi adalah yang mendapatkan suara terbanyak diantara para calon.
Samentara itu pada formula mayoritas, calon yang mendapatkan kursi adalah calon yang memperoleh 50 % + 1 suara. Dengan kata lain, seorang kandidat harus menang muntlak atas kandidat lainnya untuk dinyatakan sebagai pihak yang memperoleh kursi.
Terakhir formula perwakilan berimbang yaitu perolehan kursi ditentukan berdasarkan proposisi perolehan suara.
5. Ambang Batas ( Threshold )
Threshold adalah tingkat minimal dukungan yang harus di peroleh sebuah partai untuk mendapatkan perwakilan. Batas minimal itu biasanya diwujudkan dalam prosentase dari hasil pemilu besarnya threshold tiap Negara berbeda, ada yang tinggi dan ada yang sangat kecil.
6. Jumlah kursi legilatif
Meskipun sulit menemukan argumentasi di balik dibalik di temukannya sejumlah angka anggota legislative,ada suatu temuan yang menarik yang di gagas oleh Rein Taagepera dan Matthew S Shugart ( 2002 :5 ), mereka menyatakan bahwa ada hubungan sistematis antara besarnya parleman dengan sejumlah penduduk di berbagai Negara. Menurut mereka ni Negara-negara maju, besarnya parlemen adalah akar pangkat tiga dari jumlah penduduk atau:
F = P 1/3
Dimana F adalah jumlah kursi parlemen dan P adalah populasi atau jumlah penduduk. Dengan demikian apabila jumlah penduduk di suatu Negara adalah 8 juta maka kursi parlemen di Negara itu adalah 200.
Temuan tersebut hanya berlaku di Negara-negara maju. Sedangkan di Negara Negara berkembang hubungan antara jumlah kursi parlemen dengan jumlah penduduk tidak seperti Negara berkembang. Menurut mereka, yang di hitung pada Negara berkembang bukan keseluruhan jumlah penduduk tetapi berdasarkan diri pada penduduk aktif. Penduduk aktif disini didefinisikan sebagai jumlah penduduk yang termaksud usia kerja dan mereka yang melek huruf. Rumus untuk menemukan jumlah kursi legislative untuk Negara berkembang di perhitungkan sebagai berikut:
F = ( 2LWp )1/3
Dimana F adalah jumlah kursi parlemen, Wp adalah jumlah penduduk usia produktif, dan L adalah tingkat kemampuan baca tulis/bebas buta aksara.
Yang penting untuk diketahui berkaitan dengan besarn distrik adalah cara menentukan batas-batas listrik. Ada dua hal yang penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan batas batas pendistrikan yaitu masalah keterwakilan dan kesetaraan kekuatan suara
7. Pemilu legislative di Tingkat Lokal
1. System pemilihan DPR/ DPRD dan DPD
system pemilihan DPRD/( DPRD ) tidak mengalami perubahan mendasar sejak 1950-an hingga januhari 1999. System “daftar partai” secara proposional merupakan system pemilihan yang lama bertahan serupa dengan system yang digunakan colonial belanda. System itu semata mata bertujuan mempertahankan “ legitimasi “ Negara orde baru, ketimbang menawarkan visi maupun komposisi pemerintahan alternative.
Kevin R Evan ( 1999:6) menilai bahwa system pemilihan dalam pemilu 1999 sebagai system kas di Indonesia karena tidak ada satupun di dunia yang menggunakan system tersebut. Dari system proposional ( persentase kursi yang diperoleh partai yang sesuai dengan persentase suara yang dimenangkan ) dan system distrik ( wakil wakil rakyat yang terpilih betul betul mempertahannkan aspirasi konstituen, bukan sekedar mengikut keinginan pimpinan partai.
Walaupun penilaian tersebut berlebihan kalau bukan mendramatisasi penting dikemukakan karena sekurangnya system pemilihan dalam pemilu 2004 tidak berbeda secara seknifikan dengan pemilu 1999. Keduanya merupakan hibrida antara system proposional dan distrik atau semi proposional. Jika system pemilu 1999 merupakan system “ campuran “ berdasarkan system proposional, namum mengandung benih system distrik, sedangkan dalam pemilu 2004, benih distrik sudah menetas walaupun amat terbatas, yang ditunjukan dengan system perhitungan dan mekanisme penetapan calon terpilih
Dalam pemilu 1999, system perhitungan yang digunakan bersifat linear ( jumlah kursi yang dimenangkan suatu partai ditentukan secara proposional, namun pilihan anggota parlemen ditentukan oleh kinerja mereka dalam wilqyah pemilihan dipropinsi masing-masing ). Dalam system itu, nomor urut calon ditentukan oleh pimpinan partai karena pemilih hanya menandai gambar partai. Dengan identifikasi pilihan yang tidak jelas itu, calon tidak bisa berbuat apa apa jika tidak terpilih walaupun dekat dan dikenal pemilihnya.
Adapun dalam pemilu 2004, dilakukan proses kombinasi secara parallel minimalis. Artinya sebahagian calon anggota legislative dipilih secara distrik dan sebahagian lainnya secara proposional. Implikasi tekniknya, pemilih mencoblos tanda gambar partai dan calon dibawah dibawah tanda gambar partai saja. Teknik pertama berarti pemilih memilih sendiri calon ( system distrik ) dan teknik kedua menyerahkan pilihan calon pada partai ( system proposional ).
Walaupun akarnya sama, system pemilu 1999 dan pemilu 2004 memiliki keunggulan dan kelebihan sindiri-sendiri. Kelebihan system pemilu 1999 adalah mudah dipahami karena pemilih hanya memilih satu kali; kertas suara tidak terlalu besar; tidak ada anggota parlemen “ kelas satu “ ( dipilih dengan system distrik ) dan “kelas dua “ ) dipilih dengan system proposional ). Kelemahannya yang mencolok dari system pemilu 1999 terpilih atau tidaknya seseorang calon tergantung pada atau ditentukan pimpinan partai yang terutama terlihat dalam urut Daftar Calon Tetap ( DPC ) yang diusulkan masing-masing partai. Cara tersebut memberatkan calon karena harus dekat dengan partai sekaligus pemilih. Kedekatan calon dengan pemilih akar rumput tidak memiliki pengaruh apa-apa sekalipun massa pendukunnya protes. Akibat lebih jauh, calon terpilih atau anggota DPR/DPRD tidak punya ikatan moral terhadap pemilihnya.
Sedangkan kelebihan system pemilu 2004 mencakup: system pemilih longgar secara minimalis karena bisa menggunakan teknik sekali tanda atau dua kali tanda; pemilih cenderung memilih calon-calon yang dikenal wajahnya sehingga secara structural lebih kuat; meningkatkan peran cabang-cabang partai didaerah. Titik lemah system pemilu 1999 akan bisa dikurangi dengan system pemilu 2004. Secara teknis, system pemilu 2004 memperingan beban calon dalam meniti karier politik calon tidak harus menadi “anak manis “ pengurus partai dan pemilih. Cukup dikenal atau bahkan menjadi “anak emas masyarakat daerah pemilihan merupakan kata kunci. Partai tidak bisa sewenang wenang menetapkan calon terpilih kecuali jika suara calon tidak memenuhi Bilangan Pembagi Pemilih ( BPP), dengan itu kedekatan dan tanggung jawab moral calon terhadap pemilih dan daerah pemilihan jauh lebih besar.
System pemilihan proposional dengan dafta calon terbuka untuk memilih DPR dan system distrik untuk DPD dalam pemilu 2004 diharapkan meningkatakan beberapa dimensi kualitatif pemilihan umum. Pertama, system akan mendorong kedakatan calon dengan pemilih. Kedua, system akan menguatkan ikatan moral dan tanggung jawab calon terhadap pemilih dan daerah pemilihan. Ketiga, system akan mendorong pergeseran loyalitas dari pimpinan partai konstituten dengan implikasi paling rasional menyingkirkan kader kader jenggot yang hanya dengan dengan pimpinan partai.
Teknik pencoblosan untuk pemilihan DPD sangat sederhana karena pemilih hanya menandai gambar calon. System ini memudahkan pemilih mengidentifikasi tokoh-tokoh yang popular dan tidak. Tokoh yang sejalan dengan aspirasi, minat dan komitmen pemilih tentu saja akan mendapatkan dukungan. Dalam konteks situasi saat ini, system ini potensial bisa memperkuat polarisasi berdasarkan aliran politik.
System pemilihan proporsional dengan daftar calon terbuka untuk DPR (DPRD) diterjemahkan partai-partai di parlemen dalam teknis pemilihan yang tidak biasa. Pemilihan bisa memilih tanda tanda gambar partai, atau gambar calon dan gambar partai. Untuk yang pertama sebagai wujud system proporsional, sedangakan teknik kedua dianggab wujud system distik. Teknik ini sebenarnya tidak lazim karena tidak mendorong perimbangan keterwakilan. Di Jepang, ada jaminan 60 persen kursi diambil dari single-member district, sedangkan di Philipina bahkan 80 persen dengan single-member district. Sisanya baru dari partai.
Jaminan semacam ini tidak ada dalam aturan untuk Pemilu 2004. Demikian pula bahwa pemilihan tidak memiliki dua suara, satu untuk menentukan pemenang dalam daerah pemilihan dan satunya lagi untuk menentukan alokasi daftar partai, melainkan satu suara (one person one vote). Hal itu member imformasi bahwa bahwa system yang dipakai lebih berbobot proporsional tidak memiliki pengaruh yang signifikan secara teknis dan subtansial.
Sementara dalam hal teknis pencoblosan, pemilihan tentu memiliki cara-cara yang sederhana, yakni mencobloskan tanda gambar partai. Di negara lain dengan system campuran, cara itu tidak digunakan. Untuk mempermudah digunakan dua kertas suara. Implikasinya jelas bahwa sebenarnya, elite paratai di DPR sebenarnya lebih berusaha mengamankan peranan partai dalam menentukan calon. Dengan katalain, system yang dipakai, sebagaimana dalam pemilu 1999, adalah system proporsional. Hal itu menjadi terlihat signifikan kalau kita tinjau derajat kesadaran politik masyarakat.
Dalam pemilu 2009 terdapat penambahan jumlah kursi anggota DPR yang dipilih dari pemilu sebelumnya menjadi 560 orang wakil. Penambahan jumlah tersebut satu sisi untuk menjawab penambahan jumlah propinsi akibat pemekaran wilayah, dan secara bersamaan untuk mengatasi masalah disproporsionalitas suara pemilih jawa dan luar jawa serta standarisasi proposi jumlah penduduk dengan jumlah kursi parlemen.
Secara prinsip, system pemilu yang dipakai masih melanjutkan system pemilu sebelumnya, yaitu system proposional, meskipun dengan melakukan beberapa modifikasi. Konsep representasi atau daerah pemilihan yang dipakai adalah provinsi atau bagian-bagian propinsi. Untuk pemilu DPR, jumlah kursi yang diperebutkan disetiap daerah pemilihan ( district magnitude ) berkisar antara 3 sampai dengan 10 kursi. Sementara itu, untuk pemilu DPRD kursi yang diperebutkan di setiap daerah pemilihan berkisar 3 s.d 12 kursi.
Penghitungan perolehan kursi partai untuk DPRD tidak berbeda dengan pemilu 2004. Sementara itu, pada penentuan perolehan kursi DPR terdapat modifikasi, yaitu menggunakan system sisa suara terbesar (largest remainder) varian hare dengan bersyarat. Penentuan perolehan kursi partai dilakukan setelah dilakukan pengurangan suara dari partai-partai yang tidak memenuhi PT, dan sisa kursi yang belum habis dibagi pada penghitungan pertama disebuah daerah pemilihan diberikan kepada partai yang mendapat suara lebih dari 50% BPP. Apabila masih terdapat sisa kursi di sebuah daerah pemilihan tetepi perolehan suara sisa partai tidak mencapai 50% BPP maka suara partai dilakukan ditingkat provinsi untuk dibuat bilangan pembagi pemilu baru untuk menentukan partai yang berhak mendapatkan kursi.
Adapun penentuan calon jadi di sebuah partai politik yang memperoleh kursi parlemen adalah di dasarkan pada system suara terbanyak. Kandidat yang memperoleh suara terbanyak tampa melihat nomor urut dalam daftar pencalonan di tetapkan menjadi calon jadi penggunaan system suara terbanyak ini di dasarkan pada putusan Mahkamah Konstitusi No 22-24/PUU-1V/2008 yang membatalkan ketentuan pasal 214 hruf a sampai e undang –undang No 10 tahun 2004 tentang pemilul DPR, DPD dan DPRD yang di pandang bertentangan dengan prinsip konstitusi tentang kedaulatan rakyat.
8. Tahapan Pemilu
Berdasarkan Keputusan KPU No. 9 Tahun 2008, inilah jadwal Pemilihan umum tahun 2009 :
1. tahap pendaftaran Pemilih
− Penyerahan Data Kependudukan 5 April 2008
− Pemuktahiran Data Pemilih 6 April – 6 Juli 2008
− Penyusunan dan Pengesahan DPS 7 Juli 7 Agustus 2008
− Pengumuman DPS 8 -14 Agustus 2008
− Penyusunan dan Penetapan DPT 11 – 30 September 2008

2 Tahap pencalonan
- Partai Politik
− Pengumuman Pendaftaran Peserta Pemilu 5 – 6 April 2008
− Pendaftran Parpol Peserta Pemilu 7 April – 12 Mei 2008
− Penelitian Administrasi dan Pengumuman 10 April – 30 Mei 2008
− Verifikasi Faktual 3 Juni – 2 Juli 2008
− Penetapan Parpol Peserta Pemilu 2009 29 Juni – 3 Juli 2008
− Pengumuman Parpol Peserta Pemilu 2009 5 Juli 2008
- DPR/DPRD
− Pengambilan Formulir Calon Anggota DPR, DPRD 5 – 9 Agustus 2008
− Pengajuan Bakal Calon oleh Parpol 10 – 15 Agustus 2008
− Verifikasi kelengkapan Administratif 11 Agustus -3 Sept 2008

− Penyampaian hasil verifikasi kepada Parpol 12 Agustus – 5 Sept 2008
− Penyusunan dan Penetapan Daftar Calon Tetap 9 -26 Oktober 2008
− Pengumuman DCT anggota DPR/DPRD 27 Oktober 2008
- DPD
− Pendaftaran Calon Anggota DPD 27 Juni - 10 Juli 2008
− Penelitian Administratif 2 – 15 Juli 2008
− Verifikasi Faktual 18 Juli – 18 Agustus 2008
− Penyusunan dan Penetapan Daftar Calon Tetap 9 -26 Oktober 2008
− Pengumuman DCT anggota DPD 27 Oktober 2008
3 Tahap Kampaye
− Persiapan Kampanye 2 Januari – 28 Feb 2009
− Pelaksanaan Kampanye 8 Juli - 1 April 2009
− Masa Tenang 2 – 4 April 2009
4 Tahap Pemungutan dan Perhitungan Suara.
− Pemungutan Suara 9 April 2009
− PPS mengumumkan salinan hasil dari TPS 6 – 7 April 2009
− Rekapitulasi di PPK 7 – 11 April 2009
− Rekapitulasi di KPU Kab./Kota 11 – 15 April 2009
− Rekapitulasi di KPU Provinsi 15 – 20 April 2009
− Rekapitulasi di KPU Pusat 22 April – 5 Mei 2009
5 Tahap Penetapan Hasil.
− Penetapan Hasil Pemilu 15 April – 8 April 2009
− Penetapan dan pengumuman calon terpilih 13 – 20 Mei 2008
− Peresmian keanggotaan DPRD Kab./Kota, DPRD Provinsi, DPR dan DPD Juni – September 2009
− Pengucapan sumpah/janji Juli – 1 Oktober 2009






E. DEFENISI KONSEPTUAL
Defenisi konseptual merupakan batasan terhadap masing masing variabel yang dijadiklan pedoman dalam penelitian agar tujuan dan arahnya tidak menyimpang.
1. Kekerabatan adalah lembaga yang bersifat umum dalam masyarakat dan memainkan peranan penting pada aturan tingkah laku dan susunan kelompok. Ia adalah bentuk dan alat hubungan sosial.
2. Pemilu adalah sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menjanalankan kedaulatnnya dan merupakan lembaga demokrasi
3. Pemilu legislatif adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara kedaulatan Republik Indonesia yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945 untuk memilih anggota DPR, DPRD, dan DPD.
F. RUANG LINGKUP PENELITIAN
Untuk mengetahui bagaiamana Kekerabatan dan pemilu legislatif di tingkat lokal tentang bangsawan Muna dalam melebarkan kursi kekuasaannya dapat dilihat dengan beberapa indikator- indikator dibawah ini :

Bidang Ekonomi
a. Nilai yang mendasari sumber daya ekonomi bangsawan Muna.
b. Kepentingan- kepentingan yang mendasari penguasaan ekonomi oleh Bangsawan Muna.
c. Pengaruh pemamfaatan sumber daya ekonomi terhadap dukungan masyarakat.

Bidang Politik
a. Nilai yang mendasarai bangsawan Muna dalam dukungan politik.
b. Kepentingan yang mendasari kompetesi Bangsawan Muna dalam meraih dukungan politik.
c. Pola- pola kekuasaan yang digunakan untuk meraih dukungan masyarakat oleh bangsawan Muna.

Bidang Sosial
a. Nilai- nilai yang dikembangkan Bangsawan Muna dalam strutur masyarakat untuk meraih pengaruh dalam masyarakat.
b. Kepentingan yang mendasari hubungan Bangsawan Muna dengan masyarakat.
c. Kedudukan bangsawan muna dan Implikasinya terhadap pengaruhnya dalam masyarakat.
Bidang Psikologi
a. Nilai yang mendasari persepsi masyarakat terhadap bangsawan Muna.
b. Kepentingan-kepentingan yang di pertimbangkan masyarakat terhadap kesetiaan terhadap Bangsawan Muna
c. Intensitas relasi relasi kekuasaan antara masyarakat dengan Bangsawan Muna.


G. METODE PENELITIAN
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian eksploratif. Yakni sebagai penelitian yang berusaha “ menggali” ( mengekplorasi ) ilmu atau pengetahuan baru, pengetahuan yang belum di ketahui orang. Dalam penelitian eksploratif tidak ada teori atau prinsip yang akan di uji benar tidaknya, berlaku tidaknya. Dengan kata lain tidak ada hipotesa teoritik apapun yang akan diuji lewat penelitian empirik penelitian yang mengambarkan dan menjelaskan secara mendetail tentang kekerabatan dan pemilu legislatif 2009 di Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara.
2. Unit Analisis
Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara. Kabupaten Muna terdiri dari atas beberapa kecamatan. Penelitiaan ini dilakukan pada kecamatan-kecamatan yang masih kental kekerabatannya dalam masyarakat.. Alasan mengambil lokasi tersebut adalah lokasi penelitian tempat penyusun berdomisili sehingga mampu memahami budaya dan karakter dari penduduk setempat yang dapat membantu proses penyusunan skripsi serta keinginan peneliti untuk mengetahui lebih jelas lagi pengaruh kekerabatan dalam pemilu legislative di Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara.
Obyek penelitiannya adalah bangsawan Muna dalam perpolitik tentang bagaiamana pengaruh bangsawan Muna dalam memenangkan pemilu legislatif di Kabupaten Muna.
Pengambilan informan dalam penelitian ini menggunakan secara purposive sample yaitu informan yang dipilih karena dipandang memahami, mengetahui secara langsung persoalan yang diteliti.Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah 20 orang yang secara lengkap adalah sebagai berikut :

1. Bangsawan Muna di Eksekutif ( 2 Orang )
2. Tokoh Muna dalam berbagai Profesi
( Petani, Pedagang, Birokrasi ) ( 3 orang )
3. Tokoh Adat ( 4 orang )
4. Bangsawan Muna dalam Partai Politik.:
a. Pengurus Partai ( 4 orang )
b. Anggota Partai ( 2 orang )
5. Bangsawan Muna di legislatif
tahun 2004-2009 ( 3 orang )
6. masyarakat pemilih ( 2 orang )
20 orang

3. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data-data yang akurat sesuai dengan tujuan penelitian, maka cara kerja yang di gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :


a. Wawancara
wawancara adalah teknik untuk mendapatkan informasi dengan cara bertanya kepada Informan mengenai pengaruh kekerabatan dalam pemilu legislative di tingkat local tentang bagaimana bangsawan Muna dalam memengakan pemilu legislatif Wawancara di pandang sebagai metode pengumpulan data dengan jalan Tanya jawab sepihak yang di kerjakan dengan sistematis dan berdasarkan kepada tujuan penelitian ( Sutrisno Hadi, 1984: 143 ). Jadi dengan data ini mempermudah penelitian dan menganalisa data.
b. Dokumentasi
Adalah merupakan sebuah tekhik pengumpulan data dalam bentuk dokumen atau data sekunder yang ada kaitannya dengan masalah penelitian seperti kondisi geografis, social dan pemerintahan Kabupaten Muna.
c. Observasi
Observasi adalah metode pengumpulan data, dimana peneliti mengadakan pengamatan terhadap gejala subyek yang diselidiki baik pengamatan itu di lakukan dengan situasi bantuan yang khusus diadakan ( surakhmad,1985 : 192 )
4.Teknik Analisis Data
Setelah melakukan teknik pengumpulan data selesai, maka yang perlu dilakakukan adalah analisa data tersebur. Pada tahap ini sangatlah diperlukan pada suatu penelitian di karenakan dalam tahap analisis data, data- data di ukur dan dianalisis dengan menggunakan metode-metode tertentu sehingga berhasil disimpulkan.
Analisis data, menurut Patton ( 1980:268 ) adalah proses mengatur urutan data, mengorgasasikannya kedalam suatu pola, kategori, dan suatu uraian dasar. Sedangkan bogdan dan taylor ( 1975 : 79 ) mendefenisikan analisis data sebagai proses yang merinci usaha secara formal untuk menemukan tema dan merumuskan hipotesis ( ide ) seperti yang di sarankan oleh data dan sebagai usaha untuk memberikan bantuan tema dan hopotesis itu. Dengan demikian pengertian tersebut dapat disentiskan bahwa alanalis data adalah proses pengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat di temukan tema hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data. ( lexy J Moleong.1990. : 103 )
Analisa data dalam penelitian deskriptif adalah induktif interpretatif. Pendekatan interpretatif dalam ilmu sosial dimulai dengan pemahaman terhadap fakta atau data yang dikumpulkan, melalui pemahaman intelektual yang dibangun berdasar empiris sensual dan empirik logik atau teoritis (fay,1991:69-72). Analisa data adalah proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan.
Setelah data dianalisa dan informasi-informasi yang dibutuhkan telah diperoleh, hasil-hasilnya harus diinterpretasi sejalan dengan asumsi itu, Surakhmad menyatakan bahwa analisa data dalam penelitian historis meliputi: pengumpulan data, penilaian data, interprestasi data, dan generalisasi atau penarikan kesimpulan umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar